Pangkalpinang – Keputusan Dewan Kepengurusan Masjid (DKM) Sabilul Muhtadin Bukit Merapin, Kota Pangkalpinang, untuk menonaktifkan Umar Yusuf dari jabatan Ketua Seksi Kematian menuai polemik. Di satu sisi, Ketua DKM menyampaikan bahwa keputusan itu bersifat administratif dan bagian dari evaluasi pengurus. Namun di sisi lain, masyarakat dan pengurus seksi kematian menyatakan protes keras atas keputusan tersebut yang dinilai sepihak dan tanpa musyawarah.
Ketua DKM: “Tidak Ada Masalah Personal, Hanya Evaluasi Organisasi”
Ketua DKM, Ahmad Roibani, dalam klarifikasinya kepada wartawan menyampaikan bahwa penonaktifan Umar Yusuf bukan karena konflik pribadi, melainkan bagian dari transisi karena masa kepengurusan DKM periode 2020–2025 telah berakhir. Ia menyebutkan, dalam proses evaluasi, tidak perlu dilakukan rapat besar, cukup koordinasi dengan penasihat masjid dan RW setempat.
Ia juga menyoroti persoalan dalam pengelolaan keuangan seksi kematian, yang menurutnya tidak berjalan sesuai prosedur. Ketua DKM menyampaikan bahwa dana yang masuk dan keluar dari seksi tersebut tidak pernah dilaporkan terlebih dahulu kepada dirinya.
Ketua DKM juga menjelaskan bahwa saat surat penonaktifan dikeluarkan, terjadi kesalahan administrasi oleh sekretaris, mulai dari stempel yang tidak sesuai hingga format surat yang kurang lengkap. Namun ia menegaskan bahwa substansi surat tetap sah, karena berdasarkan hasil koordinasi internal.
“Saya tidak bermaksud menyinggung Pak Umar Yusuf. Beliau juga pernah menyampaikan bahwa kondisi kesehatannya kurang baik. Bahkan saya sudah bicara baik-baik dengan beliau dan istrinya tentang rencana ke depan, termasuk pemberian insentif,” tambah Ahmad Rohbani.
Warga: “Keputusan Sepihak, Kami Tidak Pernah Diajak Musyawarah”
Berbeda dari pernyataan Ketua DKM, masyarakat dan pengurus seksi kematian justru menyatakan keberatan keras atas keputusan penonaktifan Umar Yusuf. Pada Sabtu malam (28 Juni 2025), sejumlah warga mendatangi kediaman Pak Umar untuk memberikan dukungan moral dan menyatakan penolakan terhadap keputusan Ketua DKM.
Dalam pertemuan tersebut, warga menilai bahwa pengambilan keputusan seharusnya melalui musyawarah dan melibatkan jamaah serta pengurus aktif, bukan hanya melalui koordinasi terbatas.
“Kami keberatan. Pak Umar sudah menjalankan tugas dengan amanah. Laporan keuangan kami rapi, setiap pemasukan dan pengeluaran tercatat dan disampaikan ke jamaah,” ungkap salah satu anggota pengurus seksi kematian.
Warga juga menegaskan bahwa seksi kematian adalah unit tersendiri dalam kepengurusan masjid, yang tugas dan fungsinya berbeda, sehingga tidak bisa diganti tanpa proses formal.
“Ini bukan soal suka atau tidak suka. Tapi soal prosedur. Jika cara seperti ini dibiarkan, nanti semua bisa diberhentikan semau ketua. Ini tidak sehat dalam organisasi,” tambah tokoh masyarakat setempat.
Kedua Pihak Sama-Sama Mengklaim Niat Baik
Meski terjadi polemik, baik Ketua DKM maupun masyarakat sama-sama mengklaim niat baik untuk menjaga jalannya organisasi. Ketua DKM menyatakan siap mundur jika memang tidak dikehendaki, namun tetap bertahan demi kepentingan jamaah. Sementara masyarakat berharap agar persoalan ini tidak diperkeruh, melainkan diselesaikan dengan musyawarah terbuka dan penguatan sistem organisasi masjid yang lebih transparan dan partisipatif.
Harapan Bersama: Jaga Marwah Masjid sebagai Rumah Umat
Di tengah situasi ini, banyak pihak berharap agar pengurus DKM dan warga dapat duduk bersama menyelesaikan persoalan secara baik-baik, menjaga marwah masjid sebagai tempat ibadah dan pusat kebersamaan.
Ketika perbedaan pendapat muncul di lingkungan masjid, penyelesaiannya seharusnya tidak dengan dominasi, tetapi melalui dialog, musyawarah, dan keterbukaan demi menjaga ukhuwah dan pelayanan kepada jamaah.